Calon Terkuat Presiden Indonesia, Founder Instagram Buat App Baru, dan Lainnya
Catatan Jurnalis Startup: 6 Februari 2023
Halo,
Terima kasih kepada teman-teman yang masih berlangganan newsletter Catatan Jurnalis Startup hingga saat ini.
Mohon maaf kalau selama ini gue sempat vakum karena satu dan lain hal. But i’m back, dan semoga tidak ada hambatan lagi untuk tayang di hari Senin setiap minggu.
Sedikit update, seperti yang kalian bisa lihat di footer newsletter ini, bahwa saat ini gue sudah tidak lagi bekerja di Tech in Asia. Sejak 1 Februari 2023, gue telah bergabung sebagai Senior Business Writer di The Jakarta Post. Dan karena itu, ulasan gue di sini mungkin akan sedikit menyerempet isu-isu makroekonomi dan bisnis secara umum, yang memang menjadi fokus perusahaan media tempat gue bernaung sekarang.
Di edisi kali ini, gue akan membahas tentang siapa calon terkuat saat ini untuk menjadi Presiden Indonesia di Pemilihan Umum tahun 2024 mendatang, berdasarkan dinamika yang gue lihat di newsroom media mainstream (lol). Selain itu, ada juga ulasan tentang apa yang bisa dipelajari founder tanah air dari startup baru buatan pendiri Instagram dan Spotify.
Selamat menikmati, dan sampai jumpa minggu depan.
Salam,
Aditya
Siapa calon terkuat untuk menjadi Presiden di 2024?
Hahaa … Tenang, gue nggak akan ngoceh-ngoceh soal politik kok. Di The Jakarta Post, gue juga fokus ke pembahasan bisnis, dan ada tim lain yang bertanggung jawab untuk berita-berita umum, termasuk politik.
Tapi mungkin banyak yang penasaran kenapa gue yang sudah bergabung sejak 2015 di Tech in Asia, di luar satu tahun gue gabung di East Ventures, akhirnya memutuskan untuk pindah ke The Jakarta Post.
(Buat yang belum mengenal gue secara personal, silakan lihat LinkedIn gue untuk mengetahui runutan karier profesional gue. Tidak begitu panjang kok, hee.)
Gue cuma bisa bilang satu hal, nothing’s wrong with Tech in Asia.
Proses kepindahan gue sesimpel ada recruiter yang kontak gue, terus gue ikut rangkaian tes dan wawancara, that’s it! Dan sepertinya memang banyak perusahaan yang proses rekrutmennya di awal tahun seperti ini.
Dari Tech in Asia hingga Ecommurz
Sedikit bicara tentang lanskap media teknologi di Indonesia, sepertinya masih relatif sama seperti di tahun-tahun sebelumnya. Nama-nama besar seperti Tech in Asia, DealStreetAsia, The Ken, e27, dan DailySocial masih mendominasi.
Namun dinamikanya sudah mulai berubah. Sekarang ada platform seperti VentureCap Insights dan Data Vantage yang memungkinkan siapa pun untuk mendapatkan informasi terkini tentang pendanaan dan laporan keuangan para startup, yang kebetulan harus melaporkan itu ke otoritas Singapura. Karena itu, informasi pendanaan dan kondisi finansial para startup pun jadi lebih terbuka.
Selain itu, ada juga akun media sosial seperti Ecommurz yang mengagregat informasi anonim dari para karyawan dan penggiat startup. Hal ini membuat pihak-pihak yang sebelumnya “tidak punya suara”, jadi mempunyai panggung untuk berbicara. Dan ini adalah dinamika yang positif untuk ekosistem startup tanah air.
Beberapa orang sempat mengatakan kalau Ecommurz adalah pesaing media startup yang ada. Tapi menurut gue tidak juga, karena model bisnis keduanya berbeda. Namun apabila media startup terus berkutat dengan bocoran-bocoran terkait pemecatan karyawan, pendanaan, atau hal lain yang sering muncul di Ecommurz, barulah mereka jadi pesaing. Demikian juga sebaliknya.
Karena itu, masing-masing pihak hanya perlu fokus ke kekuatan masing-masing, karena masih ada ruang yang cukup bagi kedua jenis “produk” tersebut untuk tumbuh di ekosistem startup.
Masalahnya, menurut gue, banyaknya informasi yang tersedia kadang justru seperti “kabut” yang menyembunyikan “api” sebenarnya berada di mana.
Apa yang diberitakan oleh media dan akun anonim yang gue sebutkan di atas mungkin adalah fakta, tetapi kita juga perlu pemahaman komprehensif tentang berbagai fakta yang ada, guna menarik inti masalah yang sebenarnya.
Dan itulah yang pengin gue angkat dengan keberadaan newsletter ini. Memisahkan inti dari kulit yang membungkusnya, serta mengeluarkan esensi dari keriuhan-keriuhan yang menutupinya.
Startup baru buatan founder Instagram dan Spotify
Minggu ini, founder Instagram Kevin Systrom dan Mike Krieger mengumumkan bahwa mereka telah meluncurkan sebuah produk baru yang bernama Artifact. Singkatnya, aplikasi ini berisi daftar tautan berita yang terkurasi sesuai dengan minat pengguna.
Systrom dan Krieger sendiri pada tahun 2018 sudah mundur dari Facebook, yang sebelumnya mengakuisisi Instagram.
Sekilas, aplikasi seperti Artifact ini cukup mendukung opini gue tentang media-media startup di atas. Solusi ini memungkinkan kita untuk memilah mana berita dan informasi yang terpenting, guna memahami apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar.
Namun, Artifact jelas bukan aplikasi pertama yang ingin melakukan hal tersebut. Sebelumnya, telah ada aplikasi serupa, seperti Google Reader, Flipboard, dan Pocket. Termasuk juga Toutiao di China. Dan belum ada di antara mereka yang benar-benar jadi sangat populer di dunia, apalagi bila dibandingkan dengan Instagram yang sebelumnya dibuat oleh Systrom dan Krieger.
Seorang product designer bernama Chris Messina mengatakan bahwa dengan pengalaman yang sudah mereka miliki, kita tentu tidak bisa menganggap remeh produk baru buatan kedua founder Instagram ini. Mari kita tunggu saja apa perbedaan aplikasi baru ini dengan yang sudah ada sebelumnya. (Gue sudah coba mendaftar)
Di saat yang hampir bersamaan, founder dan CEO Spotify Daniel Ek juga meluncurkan sebuah startup di bidang kesehatan dengan nama Neko Health. Startup baru tersebut menawarkan pemeriksaan menyeluruh kepada pasien yang diharapkan bisa mencegah kemunculan penyakit baru.
Menurut Hjalmar Nilsonne, co-founder lain dari Neko Health, solusi ini ingin mengubah kondisi yang terjadi saat ini, di mana para dokter terlalu disibukkan dengan tindakan pengobatan penyakit, dan tidak punya waktu untuk fokus di usaha pencegahan penyakit.
Dari kedua berita tersebut, dan hasil obrolan dengan para founder startup tanah air, para entrepreneur seperti mereka memang sering sekali mendapat ide-ide baru untuk dikembangkan. Otak mereka seperti sudah didesain untuk “mencari-cari” masalah, dan menemukan solusinya.
Apabila itu terjadi, bagaimana cara memperlakukan ide tersebut?
Ada beberapa cara:
Menunggu sampai sang founder bisa exit atau menunjuk pengganti di startup lama, untuk kemudian mengembangkan startup baru. Biasanya hal ini terjadi apabila ide yang didapat cukup mirip dengan produk yang mereka kembangkan sebelumnya, seperti Artifact.
Menunjuk seseorang yang bisa dipercaya untuk mengembangkan startup baru tersebut, sambil membantunya selama proses berlangsung. Daniel Ek sepertinya melakukan hal ini untuk Neko Health. Di beberapa kasus, startup baru ini pada akhirnya bisa dilebur ke dalam startup yang sudah dibuat sebelumnya, apabila memang sudah mempunyai nilai tambah yang signifikan.
Berita penting lainnya
Platform e-commerce JD.ID resmi tutup di Indonesia.
MUFG menyiapkan dana US$100 juta untuk berinvestasi di Indonesia.
Startup akomodasi Reddoorz menyatakan telah “break even” di Indonesia dan Filipina.
CoHive, perusahaan co-working space yang muncul di masa-masa awal ekosistem startup tanah air (sejak bernama EV Hive), resmi gulung tikar.
Startup agritech Eden Farm raih pendanaan US$13.5 juta.
East Ventures memberikan investasi kepada startup cybersecurity bernama Peris.ai.
Anda baru saja membaca Catatan Jurnalis Startup, sebuah newsletter yang mengangkat topik-topik terhangat di dunia startup Indonesia, serta kisah di belakang layar yang seringkali tidak bisa masuk ke dalam liputan media.
Newsletter ini dibuat oleh gue, Aditya Hadi - seorang jurnalis di The Jakarta Post yang sebelumnya pernah menjadi penulis di Tech in Asia -, dan akan tayang setiap minggu pada hari Senin.
Untuk berlangganan, silakan kunjungi adityahadi.substack.com