Debut GoTo di Bursa Saham, Masa Depan "Suram" Crypto, dan Lainnya
Catatan Jurnalis Startup: 11 April 2022
Halo,
Terima kasih kepada teman-teman yang telah berlangganan newsletter Catatan Jurnalis Startup.
Di edisi kali ini, gue (kembali) mengangkat momen spesial bagi dunia startup Indonesia, yaitu masuknya GoTo Group di Bursa Efek Indonesia (IDX) tepat pada hari ini. Selain itu, ada juga opini menarik tentang masa depan aset crypto yang membuat pendapat banyak orang terpecah, apakah akan membaik atau malah makin suram.
Di akhir, gue menyajikan review buku karya salah satu partner Andreessen Horowitz (dan mantan petinggi Uber), yang pastinya punya banyak pelajaran menarik tentang cara membangun startup.
Selamat menikmati, dan sampai jumpa minggu depan.
Salam,
Aditya
Saham untuk mitra pengemudi, apa efeknya?
Pada tanggal 11 April 2022 ini, GoTo Group akan resmi terdaftar di IDX. Artinya, saham mereka akan bebas diperjual belikan dengan harga yang naik turun tergantung performa perusahaan dan sentimen pasar.
GoTo Group pun menambah panjang daftar perusahaan teknologi yang telah melantai di bursa tanah air.
Namun, ada yang unik dari IPO GoTo Group kali ini, yaitu adanya alokasi saham gratis untuk para mitra pengemudi mereka, yang besarannya tergantung dari masa kerja mereka. Beberapa pengemudi bisa mendapatkan 4.000 lembar saham (dengan nilai sekitar Rp1,3 juta), sedangkan yang lain bisa memperoleh 1.000 lembar saham (sekitar Rp338 ribu).
Menurut gue, ini adalah cara kreatif untuk “berbagi” kepada mitra pengemudi, sekaligus menjaga kestabilan operasional perusahaan. Mengapa? Karena kini ada insentif lebih bagi para pengemudi untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa mencoreng nama perusahaan.
Gue lumayan yakin bahwa mayoritas pengemudi Gojek tidak terlalu memahami dinamika di bursa saham. Namun apabila telah mendapat penjelasan, mereka mungkin akan menyadari bahwa saham yang mereka terima tidak bisa langsung dicairkan pada hari ini, saat saham GoTo resmi diperdagangkan. Hal ini dikarenakan adanya lock-up period hingga delapan bulan ke depan.
Secara logika, mereka harus terus menjaga nama baik GoTo Group (setidaknya hingga bulan November nanti), agar nilai saham mereka setidaknya tidak turun dari harga awal. Hal ini bisa dilakukan dengan bekerja lebih keras, atau mengurungkan diri untuk melakukan protes dan mogok kerja.
Namun di akhir, uang jelas akan berbicara. Apakah nilai saham gratis yang diberikan GoTo Group sudah cukup untuk para mitra, atau malah dinilai terlalu kecil?
Di artikel lain, rekan gue Budi Sutrisno juga berbagi informasi tentang struktur organisasi GoTo Group yang bisa dilihat di artikel ini.
“Mengintip” masa depan Bitcoin dan Ethereum
Minggu lalu, berlangsung sebuah konferensi bertajuk Bitcoin 2022 di Miami, Amerika Serikat. Seorang jurnalis Fast Company merangkum pendapat beliau saat menghadiri acara tersebut.
Beberapa hal yang menjadi sorotan beliau, antara lain:
Opini dari para panelis terlalu fokus pada ajakan “beli Bitcoin karena ini adalah investasi terbaik”, tanpa argumen lebih lanjut.
Meski diisi banyak nama besar seperti Peter Thiel dan Jordan B. Peterson, tetapi diskusi yang berlangsung tidak terlalu mendorong visi Bitcoin untuk menjadi mata uang masa depan.
Diskusi yang terbangun begitu terbatas, karena panelis seperti tidak bisa membahas hype terkini seperti NFT dan DAO yang memang dibangun di atas jaringan Ethereum, bukan Bitcoin.
Beberapa orang yang vokal mendukung Bitcoin justru mundur setelah dijadwalkan hadir, mulai dari Presiden El Salvador Nayib Bukelele dan founder Barstool Sports Dave Portnoy.
Acara hiburan yang berlangsung di panggung megah layaknya konser musik pun terkesan “meh”.
Di sisi lain, ada juga yang menyoroti mulai kurang agresifnya “pendukung” Ethereum di media sosial.
Serta berkurangnya minat pengguna internet untuk mencari artikel dan berita terkait NFT, yang merupakan salah satu use case populer Ethereum.
Menurut gue, naik turunnya popularitas Bitcoin dan Ethereum adalah hal yang wajar. Di awal kemunculannya, sebuah tren baru pasti akan menunjukkan kenaikan yang di luar normal, hingga menyentuh batas atas dalam hal jumlah pengguna, transaksi, atau liputan media.
Namun, seiring berjalannya waktu, akan terjadi seleksi alam terhadap para pengguna yang memang percaya bahwa teknologi, startup, atau tren tersebut benar-benar bisa mengubah kehidupan manusia atau tidak. Seperti yang ditunjukkan pada grafik ini.
Karena itu, menurut gue teknologi blockchain (dan bahkan mungkin Bitcoin dan Ethereum) akan terus bertahan hingga beberapa puluh tahun ke depan. Namun penggunaannya mungkin akan jauh berbeda dari apa yang bisa kita dapatkan pada hari ini.
Di berita lain, justru ada perkembangan menarik dari dunia kecerdasan buatan, di mana sebuah program sudah bisa membuat “lukisan” hanya berdasarkan deskripsi yang kita tuliskan dalam bentuk kata-kata. Cek thread di bawah ini:
Berita penting lainnya
Konglomerat Bakrie Group meluncurkan dana investasi terbaru.
Startup UKM Credibook raih pendanaan US$8,1 juta dari Monk’s Hill Ventures, dan lainnya.
East Ventures memimpin pendanaan untuk TheAsianParent.
Startup yang fokus di jual beli bahan pakaian, Wifkain, meraih pendanaan tahap awal.
Startup asal Singapura Glife mengakuisisi PanenID.
Coinbase dan Crypto.com siap hadir di Indonesia?
Transaksi crypto kini dikenai pajak.
IDN Media meluncurkan dana khusus untuk livestreamer.
Buku bacaan minggu ini
The Cold Start Problem - Andrew Chen
Ini adalah buku yang cocok banget dibaca oleh para founder yang baru ingin membangun startup, atau sudah mendirikan startup tetapi menghadapi masalah dalam hal mengembangkan jumlah pengguna.
Andrew Chen - mantan petinggi Uber yang kini merupakan partner di Andreessen Horowitz - mengatakan bahwa banyak startup yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan traksi di awal.
Di beberapa kasus, masalah ini begitu pelik seperti teori Catch-22. Sebuah startup tidak bisa mendapatkan supplier karena belum mendapatkan banyak pengguna. Tapi mereka pun merasa tidak bisa mendapatkan pengguna karena belum ada banyak supplier.
Lalu bagaimana cara mengatasinya?
Beberapa pelajaran menarik dari buku ini:
“Winner Takes All” dan “First Mover Advantage” hanyalah mitos, dan belum ada pembuktian secara pasti di dunia nyata.
Produk yang di kemudian hari menjadi besar, seringkali dianggap hanya “mainan” di awal kemunculannya. Mengapa? Karena produk tersebut biasanya sukses menjadi solusi sebuah masalah, tetapi hanya di sebuah komunitas tertentu. Namun solusi tersebut justru bisa diperluas ke komunitas-komunitas lain. Itulah pentingnya membuat niche di awal pembuatan produk.
Dalam membuat marketplace, fokuslah pada sisi supply, karena itu adalah hal yang paling sulit untuk dikendalikan. Sisi demand, yang sering menjadi fokus banyak startup, justru sebenarnya lebih mudah (dan murah) didapatkan.
Karena begitu banyaknya pelajaran di buku ini, gue akan kembali mengulasnya di edisi minggu depan.
Rating: 4/5
Anda baru saja membaca Catatan Jurnalis Startup, sebuah newsletter yang mengangkat topik-topik terhangat di dunia startup Indonesia, serta kisah di belakang layar yang seringkali tidak bisa masuk ke dalam liputan media.
Newsletter ini dibuat oleh gue, Aditya Hadi - seorang penulis di Tech in Asia -, dan akan tayang setiap minggu pada hari Senin.
Untuk berlangganan, silakan kunjungi adityahadi.substack.com