Halo,
Terima kasih kepada teman-teman semua yang telah berlangganan newsletter Catatan Jurnalis Startup.
Di email perdana ini, gue ingin membahas berita terbesar minggu lalu, yaitu rencana GoTo Group untuk masuk ke bursa saham Indonesia. Di saat yang hampir bersamaan, salah satu portofolio mereka di sektor bank digital, Bank Jago, juga merilis laporan keuangan yang cukup positif - apabila sekilas dibandingkan dengan para pesaingnya.
Selain itu, ada juga sebuah temuan menarik di bisnis P2P lending, dan hubungan pasang surut media dengan founder startup, terutama para perempuan.
Di akhir, gue juga berbagi ulasan dari sebuah buku startup yang gue baca minggu lalu. Selamat menikmati, dan sampai jumpa minggu depan.
Salam,
Aditya
IPO startup terbesar (dan tertua?) di Indonesia
Pada tanggal 15 Maret 2022 kemarin, GoTo Group akhirnya mengumumkan rencana IPO di tanggal 4 April 2022 nanti. Apabila sukses, maka valuasi mereka akan mencapai US$29 miliar, jauh lebih besar dari Grab - untuk saat ini.
Karena berita ini muncul di pagi hari, gue akhirnya menghabiskan waktu hampir seharian untuk merangkum prospektus setebal hampir 1.000 halaman (iya, ini serius), yang akhirnya menjadi beberapa grafik komprehensif yang gue unggah di artikel ini.
Berita besar ini jelas memunculkan berbagai macam pendapat, seperti thread Twitter di bawah ini:
Dan juga balasannya, seperti di bawah ini:
Menurut gue, bagaimana pergerakan harga saham GoTo Group - akan melambung atau terjerembab - itu urusan nanti. Toh langkah besar ini sudah diumumkan dan kecil kemungkinan untuk dibatalkan. Seperti saat IPO Grab beberapa bulan lalu juga, ini tetap sebuah milestone besar untuk ekosistem startup di Asia Tenggara.
Sejarah menunjukkan bahwa pergerakan harga saham tidak selalu sejalan dengan performa perusahaan. Yang terpenting bagi GoTo Group saat ini adalah bagaimana mereka tetap bisa berkembang - meski dengan uang tunai yang lebih sedikit dibanding Grab.
Lagipula GoTo Group akan menerapkan opsi Greenshoe yang diharapkan bisa menjaga harga saham mereka setidaknya tetap di atas harga pembukaan. Animo pembelian juga menurut gue akan tetap tinggi - ditambah mereka juga menawarkan saham tersebut secara langsung kepada pengguna dan mitra.
Jadi, gw tidak terlalu khawatir dengan harga saham di awal, tetapi justru lebih penasaran dengan laporan keuangan pertama mereka setelah IPO. But anyway, bagus atau tidaknya langkah GoTo untuk IPO jelas akan menentukan langkah startup lain untuk masuk bursa saham di kemudian hari (semua mata tertuju pada Traveloka, Tiket, dan lainnya).
Di berita lain, FinAccel alias Kredivo justru batal IPO di Amerika Serikat lewat jalur SPAC. Namun sang CEO menyatakan bahwa saat ini kondisi keuangan mereka masih aman karena sudah profitable tahun lalu, dan mungkin akan mencoba IPO “lagi” dalam beberapa tahun ke depan.
Bank Jago sudah jadi bank digital “paling jago”?
Pada tanggal 11 Maret 2022, Bank Jago mengeluarkan laporan keuangan untuk tahun 2021. Hasilnya positif, dengan catatan net profit sebelum pajak mencapai US$600,000.
Gue kemudian membuat analisis lanjutan yang secara umum mengatakan bahwa saat ini Bank Jago memang mempunyai keunggulan karena mereka - dalam bahasa sederhana - mengeluarkan lebih sedikit biaya untuk mengumpulkan dana pihak ketiga.
Namun pesaing mereka Bank Neo Commerce dan SeaBank - yang masing-masing didukung oleh Akulaku dan Sea Group - tetap mempunyai potensi meraih keuntungan apabila bisa memanfaatkan dengan baik dana pihak ketiga yang membludak, setelah memberikan promosi bunga deposito dan tabungan yang besar. Caranya, agresif memberikan pinjaman yang sehat tentu saja, dan menambah pendapatan dari penghasilan non bunga.
Menurut gue, tahun ini hingga awal tahun depan akan menjadi masa yang sangat menarik untuk sektor bank digital. SeaBank sudah terlihat mengecilkan kerugian dan siap meraup laba bersih tahun ini, Bank Neo Commerce juga suatu saat nanti akan membalik kerugian menjadi laba - menurut harapan mereka.
Di sisi lain, bank-bank digital milik Kredivo, konsorsium Emtek-Grab-Singtel, konsorsium CT Group-Salim Group-Bukalapak-Grab-Carro, dan lainnya juga kemungkinan akan meluncurkan aplikasi mobile tahun ini. Seiring berjalannya waktu, peta persaingan akan semakin jelas.
Kalau kalian ingin mendengar strategi para bank digital tersebut secara langsung, tim Stockbit menyediakan video wawancara dengan mereka di YouTube seperti di bawah ini:
Dan juga ini:
P2P lending harus transparan - soal kredit macet
Minggu ini, ada rumor tentang sebuah P2P lending yang disebut “mengakali” angka kredit macet dengan cara menutupi pinjaman yang gagal terbayar dari “dompet mereka sendiri”. Gue gak akan menyebut secara spesifik, karena memang belum terbukti kebenarannya.
Namun menurut gue, berdasarkan observasi di lapangan, ada beberapa P2P lending yang seperti bersikap “kurang terbuka” kepada para calon pemberi pinjaman tentang realita kredit macet dari pinjaman yang mereka berikan. Jujur saja, suatu saat yang namanya pinjaman pasti akan ada yang macet, dan berdampak pada pemberi pinjaman. TKB90 yang merupakan indikator kredit bersih, tidak akan 100% sepanjang masa.
Dan apabila para pemain P2P lending tidak sedini mungkin transparan dalam hal ini, bisa menjadi masalah dalam hal kepercayaan publik.
Saat ini, mulai banyak pemberi pinjaman (lender) di P2P lending yang merasa “heran” mengapa uang yang mereka investasikan di P2P lending tidak kembali seutuhnya. Alasan utamanya ya karena kurang pahamnya mereka, serta ada “ilusi” dari P2P lending bahwa pinjaman peer-to-peer itu aman dan pasti kembali.
Padahal, P2P lending jelas adalah produk investasi - apabila bisa dikatakan seperti itu - yang cukup berisiko. Itulah mengapa mereka menawarkan bunga lebih tinggi, agar bisa menutupi pinjaman-pinjaman berisiko yang akhirnya harus macet.
Apabila kalian adalah seorang pemberi pinjaman di P2P lending, camkan itu baik-baik.
Di berita lain, UangTeman baru saja kehilangan lisensinya sebagai penyedia layanan P2P lending.
Jurnalis perempuan malah menjatuhkan founder perempuan?
Pada tanggal 16 Maret 2022, Business Insider merilis sebuah artikel yang membahas kisah di balik layar dari CEO dan founder Glossier, Emily Weiss. Disebutkan bahwa sang pendiri dari perusahaan bernilai US$1,8 miliar tersebut seolah terlalu mengedepankan ambisinya untuk menjadi perusahaan teknologi, yang akhirnya merugikan perusahaan.
Ada beberapa pihak yang mendukung sang penulis - yang juga merupakan seorang perempuan -, karena dianggap membuat dunia teknologi menjadi lebih transparan. Namun, di sisi lain ada banyak tokoh yang menganggap artikel ini seperti “serangan terstruktur” terhadap founder perempuan, seperti yang disebutkan Marc Andreessen berikut ini.
Menurut gue, seorang jurnalis memang harus berhati-hati dalam membuat artikel seperti ini. Mengapa? Karena bisa jadi apa yang dilakukan founder startup, baik itu bersikap keras saat karyawannya tidak mencapai target, mengambil keputusan aneh yang tidak masuk akal, hingga melakukan pemecatan, mungkin memang sebuah cara untuk mencapai kesuksesan - meski tidak ideal.
Gue baru baca buku The Founders yang nanti akan gue uraikan resensinya di bawah, dan isinya banyak mengangkat masalah ini. Para founder PayPal mungkin akan mendapat hujatan apabila segala hal yang terjadi di sana saat itu dibeberkan semua di hadapan media dan publik.
Lalu apakah jurnalis harus menutup telinga apabila ada keluhan tentang sikap seorang founder startup? Tidak juga. Tetap saja jurnalis harus melaporkan itu dalam tulisan, sebagai usaha untuk menjaga akuntabilitas para founder tersebut.
Namun jurnalis mungkin bisa mencoba berempati dengan tidak menggunakan kata-kata spesifik yang bisa memberikan konotasi negatif. Biarkan saja pembaca menilai sendiri apakah yang dilakukan oleh sang founder adalah hal yang baik atau tidak. (Ya, ini juga catatan untuk diri gue sendiri)
Betapa banyak teknologi (yang kita sebut) “visioner” saat ini, yang disebut-sebut akan gagal oleh media di awal kemunculannya, seperti contoh di bawah ini:
Berita penting lainnya
Startup early wage access Wagely meraih pendanaan US$8.3 juta.
PropertyGuru baru saja melakukan IPO di Amerika Serikat.
Buku bacaan minggu ini
The Founders: The Story of PayPal and The Entrepreneurs Who Shaped Silicon Valley - Jimmy Soni
Ini adalah sebuah buku yang membahas tentang para pendiri PayPal (biasa disebut dengan PayPal Mafia) yang kini mempunyai pengaruh besar di ekosistem startup dunia, baik sebagai founder, investor, maupun advisor.
Buku ini menceritakan dengan detail kisah perusahaan bernama Confinity yang dipimpin Peter Thiel dan Max Levchin - yang akhirnya membuat PayPal -, dan X.com yang dipimpin Elon Musk. Kedua perusahaan tersebut akhirnya bersatu dan mengedepankan PayPal sebagai produk utama. Sempat bersaing dengan raksasa ecommerce pada saat itu, eBay, tetapi mereka mampu bertahan dan bahkan justru diakuisisi oleh eBay dengan nilai yang besar.
Banyak anekdot di buku ini tentang bagaimana para pendiri dan tokoh penting di PayPal, apabila mempunyai pendapat tentang sesuatu, mereka akan berusaha keras mempertahankannya. Meski akhirnya, perbedaan pendapat itu justru berujung pada perpecahan dan harus hengkangnya beberapa dari mereka. Contohnya adalah perbedaan pendapat tentang pemakaian Linux vs Windows, atau bagaimana cara terbaik menjalankan perusahaan.
Beberapa bagian dari buku ini memang bisa kalian baca di berbagai artikel media, tetapi ada juga bagian-bagian penting yang baru terungkap dari wawancara sang penulis dengan para tokoh tersebut.
Rating dari gue: 4/5
Anda baru saja membaca Catatan Jurnalis Startup, sebuah newsletter yang mengangkat topik-topik terhangat di dunia startup Indonesia, serta kisah di belakang layar yang seringkali tidak bisa masuk ke dalam liputan media.
Newsletter ini dibuat oleh gue, Aditya Hadi - seorang penulis di Tech in Asia -, dan akan tayang setiap minggu pada hari Senin.
Untuk berlangganan, silakan kunjungi adityahadi.substack.com