Masa Depan Quick Commerce, Masa Lalu Buruk Seorang Founder, dan Lainnya
Catatan Jurnalis Startup: 4 April 2022
Halo,
Terima kasih kepada teman-teman yang telah berlangganan newsletter Catatan Jurnalis Startup.
Di edisi ketiga ini, gue mengulas potensi bisnis quick commerce yang kian ramai di Indonesia. Selain itu, ada juga berita terkait Fast - startup asal Amerika Serikat yang kini tengah menghadapi masalah.
Ini juga merupakan kali pertama gue mengangkat komentar dari pembaca. Jadi, apabila kalian mempunyai komentar - baik yang sama maupun berbeda dengan opini gue - jangan ragu untuk menghubungi dan memulai diskusi.
Selamat menikmati, dan sampai jumpa minggu depan. Selamat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan tahun ini bagi yang menjalankan.
Salam,
Aditya
Meramal masa depan quick commerce di Indonesia
Minggu lalu, rekan gue Jofie Yordan membuat artikel mendalam tentang sektor quick commerce yang sedang naik daun di Indonesia. Bisnis tersebut kini telah diisi oleh beberapa startup seperti Astro, Dropezy, Bananas, Radius, hingga Sekitar.
Mereka semua menawarkan layanan serupa, yaitu pengiriman barang (terutama FMCG dan groceries) dalam waktu 15 hingga 20 menit.
Dalam artikel tersebut, ada beberapa opini menarik:
Penting bagi para pemain untuk menentukan barang apa saja yang akan laris dibeli oleh pengguna di setiap daerah (demand prediction), karena dark stores yang mereka gunakan tentu tidak bisa menampung terlalu banyak SKU.
Para startup quick commerce harus berusaha meraih keuntungan dari setiap transaksi yang mereka jalankan. Namun, di saat yang sama juga harus “mengorbankan” biaya untuk memperbanyak pengguna, seiring dengan makin banyaknya pesaing. Balance is a key.
Ada indikasi bahwa startup besar seperti Grab atau Tokopedia juga akan masuk ke bisnis ini. Namun, dengan masuknya mereka ke bursa saham, tentu ada tekanan yang cukup besar untuk segera meraih keuntungan. Karena itu, beberapa pengamat menilai startup besar tersebut mungkin tidak akan melakukan investasi besar untuk sektor quick commerce yang belum teruji.
Menurut gue, kata “quick” dari quick commerce hanyalah gimmick yang berfungsi untuk menarik pengguna di awal. Seiring bertambahnya pengguna, janji untuk mengantarkan barang dalam waktu 10 menit mungkin akan molor menjadi 20 atau 30 menit.
Namun itu bukan merupakan masalah besar, karena tujuan akhir dari bisnis ini mungkin adalah “commerce” itu sendiri. Aplikasi-aplikasi tersebut mungkin justru ingin menjadi tujuan utama setiap kali pengguna ingin berbelanja FMCG atau sayuran, termasuk saat masa belanja bulanan, alih-alih menggunakan produk marketplace atau layanan on-demand besar.
Gue pernah bertanya pada beberapa pengguna yang sudah menggunakan layanan quick commerce lebih dari satu kali. Menurut mereka, alasan utama menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut adalah reliability, keyakinan bahwa apa yang mereka pesan pasti tersedia, yang mungkin belum bisa ditawarkan layanan seperti GoMart atau GrabMart karena perbedaan model bisnis.
Kecepatan bahkan belum menjadi faktor penting bagi para pengguna tersebut.
Lalu bagaimana dengan banyaknya pemain? Apakah semuanya akan bisa bertahan di tengah pasar yang terbatas?
Konsolidasi antar pemain bisa menjadi jalan keluar, bukan?
Move “Fast” and break things?
Fast adalah startup asal Amerika Serikat yang bekerja sama dengan beberapa e-commerce untuk menghadirkan tombol quick checkout. Dengan begitu, pengguna bisa melakukan pembelian dengan lebih cepat, tanpa perlu berulang kali memasukkan informasi pribadi dan detail pembayaran ke beberapa e-commerce berbeda.
Hingga saat ini, mereka telah mendapat pendanaan lebih dari US$124 juta dari perusahaan pembayaran Stripe, Index Ventures, dan Susa Ventures. Namun, baru-baru ini mereka dikabarkan gagal meraih pendanaan baru, hingga harus memecat karyawan dan bahkan bersiap menjual perusahaan.
Di balik begitu cepatnya pertumbuhan Fast dari sisi pendanaan dan valuasi, ternyata ada beberapa pertanyaan di balik masa lalu sang founder Domm Holland, dan cara dia mengelola perusahaan.
Pertama, sang founder sempat membuat startup di bisnis towing di Australia. Namun startup tersebut kini telah tutup, dan Holland meninggalkan banyak masalah mulai dari kasus dengan pemerintah hingga pemecatan karyawan lewat pesan singkat. Itu mungkin alasan dia “mengganti” nama dari Dominic menjadi Domm.
Kedua, Holland sempat merekrut developer asal Nigeria untuk membantu mengembangkan Fast. Namun begitu mendapatkan pendanaan, ia langsung memutus hubungan dengan para developer asal Nigeria tersebut.
Ketiga, Holland begitu agresif dalam melakukan perekrutan, meski hanya mendapat pemasukan sebesar US$600,000 pada tahun 2021. Kerugian Fast mencapai US$10 juta setiap bulannya.
Menurut gue, tidak ada masalah dengan memberikan investasi kepada founder yang mempunyai masalah di masa lalu. Gue termasuk orang yang percaya bahwa seseorang bisa berubah.
Namun, penting bagi para investor untuk memastikan bahwa apa yang terjadi dengan sang founder di masa lalu tidak akan berulang, misalnya dengan pengamatan lebih ketat tentang cara mereka menjalankan perusahaan.
Beda cerita apabila sang investor memang menyadari masalah tersebut, tetapi justru berusaha menutupinya demi mengurangi kerugian, dan berharap bisa “melimpahkan” kerugian tersebut kepada investor lain yang datang kemudian.
Komentar pembaca
Setelah edisi kedua dari newsletter ini terbit minggu lalu, ada seorang pembaca yang memberikan komentar pada salah satu topik yang gue angkat, terkait startup perikanan yang kian dilirik investor akhir-akhir ini.
Pembaca tersebut - yang mengaku bekerja langsung di bisnis perikanan - mengamini bahwa margin besar memang menunggu bagi para pemain bisnis tambak atau budidaya ikan. Namun untuk usaha ikan tangkap, para nelayan justru tengah menghadapi masalah, salah satunya dengan kenaikan pajak dari pemerintah.
Kita lihat saja bagaimana para startup di bisnis perikanan berusaha mengatasi masalah ini dan membantu para nelayan untuk bisa bertahan.
Berita penting lainnya
Green Rebel, startup kuliner asal Indonesia yang dibuat oleh pendiri Burgreens, meraih pendanaan US$7 juta dari Unovis dan Better Bite Ventures.
Founder Kudo Albert Lucius - yang sempat bergabung dengan Grab setelah akuisisi - kini mendirikan startup baru bernama TipTip yang bergerak di bisnis livestreaming. Mereka baru saja mendapat pendanaan US$10 juta dari East Ventures, Vertex, Emtek, dan SMDV.
Di berita lain, GoPlay yang juga fokus di bisnis livestreaming, meluncurkan dana US$1 juta yang akan mereka bagikan pada para kreator di platform mereka.
Startup kesehatan Fit Hub mendapat pendanaan US$3 juta dari Global Founders Capital.
Dalam perkembangan terbaru, GoTo Group menetapkan bahwa mereka akan menjual saham dengan jumlah yang lebih sedikit, dan harga di bawah angka maksimal, dari yang ditetapkan sebelumnya.
16 startup asal Indonesia resmi bergabung dengan Y Combinator. Simak daftar lengkapnya di sini.
Marketplace freelancer Sribu mengumumkan akuisisi oleh perusahaan jepang Mynavi, yang telah selesai sejak akhir tahun lalu.
Buku bacaan minggu ini
Dalam buku No Filter ini, Sarah Frier menceritakan secara kronologis perjalanan Instagram mulai dari didirikan oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger pada tahun 2010, hingga menjadi fenomena besar seperti sekarang.
Jujur gue sedikit kecewa karena sekitar 80% buku ini justru berisi kisah Instagram setelah mereka diakuisisi Facebook. Dengan begitu, buku ini pun didominasi oleh kisah Systrom dan Krieger menghadapi politik perusahaan di bawah kendali Mark Zuckerberg, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar.
Namun, bukan berarti buku ini tidak bagus. Karena kita tetap bisa belajar strategi untuk membuat dan merilis produk inovatif seperti Instagram Stories dan IGTV, di tengah tekanan yang ada.
Selain itu, dijelaskan pula alasan mengapa Instagram akhirnya bisa membuat persepsi publik yang jauh berbeda dibanding Facebook, meski sebenarnya berada di bawah satu perusahaan yang sama.
Quote favorit gue:
“[Shayne Sweeney, Instagram’s first engineer] was so busy he forgot for an entire month to message the woman he was dating. When he remembered to get in touch and apologize, she had already moved on.”
Rating: 4/5
Anda baru saja membaca Catatan Jurnalis Startup, sebuah newsletter yang mengangkat topik-topik terhangat di dunia startup Indonesia, serta kisah di belakang layar yang seringkali tidak bisa masuk ke dalam liputan media.
Newsletter ini dibuat oleh gue, Aditya Hadi - seorang penulis di Tech in Asia -, dan akan tayang setiap minggu pada hari Senin.
Untuk berlangganan, silakan kunjungi adityahadi.substack.com