Halo,
Terima kasih kepada teman-teman yang telah setia berlangganan newsletter Catatan Jurnalis Startup.
Sebelumnya, gue mau mengucapkan Selamat Idul Fitri 1444 H bagi yang merayakan. Semoga semua amal ibadah kita diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’Ala, serta terus diberikan keberkahan dan kebahagiaan di sepanjang hidup kita. Tak lupa gue juga ingin mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan kata dan perbuatan yang sempat gue lakukan.
Di edisi kali ini, gue akan membahas tentang sesuatu yang santai, yaitu soal apa yang gue tangkap dari sebuah serial yang baru saja gue tonton. Judulnya adalah Succession.
Dan karena ini adalan newsletter tentang dunia startup, tentu nanti akan ada kaitannya ke sana. So please bear with me, and read until the last word.
Selamat menikmati, dan sampai jumpa minggu depan.
Salam,
Aditya
Apa yang gue pelajari setelah menonton serial Succession?
Awalnya gue nggak terlalu tertarik untuk nonton serial ini, meski sebenarnya cukup ramai dibincangkan di dunia maya. Namun setelah “dihasut” oleh beberapa teman kantor, akhirnya gue menyerah. (Radhi and Audrey, this one for you!)
Untungnya, setelah nonton Season pertama, gue nggak kecewa sama sekali.
Singkat cerita, Succession adalah sebuah kisah tentang keluarga konglomerat pemilik media besar Waystar RoyCo - banyak yang mengasosiakannya dengan Fox News milik Robert Murdoch. Logan Roy, sang ayah, merupakan sosok yang otoriter meski usianya sudah begitu tua dengan berbagai penyakit yang mengganggu kesehatannya.
Logan mempunyai empat orang anak dengan karakter yang begitu berbeda satu sama lain: Connor yang seperti tidak tahu apa yang dia inginkan dalam hidup, Kendall yang selalu haus akan kursi kepemimpinan, Roman yang kurang cerdas tapi selalu ingin tampak sebaliknya, hingga Shiv yang punya aspirasi tersendiri di dunia politik.
Dan mereka semua punya kepentingan masing-masing tentang bagaimana perusahaan sang ayah akan berlanjut, ketika suatu saat nanti beliau akhirnya wafat.
Beberapa orang mungkin suka dengan serial ini karena menunjukkan sisi lain dari kehidupan konglomerat yang jarang kita lihat di dunia nyata. Namun bagi gue, cerita ini begitu dekat dengan pandangan pribadi gue dalam hidup. Khususnya tentang preparing for the chaos.
Sewaktu masih di bangku sekolah, gue selalu beranggapan bahwa situasi “happily ever after” itu bisa menjadi nyata, karena hidup gue memang selalu bahagia pada saat itu. Namun sejak sebuah tragedi terjadi tepat sebelum gue lulus SMA, gue akhirnya sadar bahwa hidup itu bukan constant happiness, tapi justru constant chaos.
Sejak saat itu, gue selalu bersiap untuk terjadinya segala sesuatu yang buruk dalam hidup. So, i’m not expecting a good thing to happen, but i always expect chaos.
Gue sudah bersiap akan berbagai kejadian, mulai dari putus dengan pacar, berpulangnya orang terdekat, hingga seremeh ada anak baru di kantor yang mendapat promosi lebih dulu dari gue. Kalau boleh jujur, gue bahkan sudah bersiap dengan situasi luar biasa seperti Covid-19. (walau gue waktu itu bersiapnya untuk zombie, bukan virus, lol)
Dan ternyata gue nggak sendirian, karena konsep seperti ini juga banyak dibicarakan, seperti di tautan berikut.
Kembali ke Succession, di serial tersebut pun diceritakan bagaimana hidup sebagai keluarga konglomerat ternyata juga bisa menjadi constant chaos.
Tanpa berusaha untuk berbagi spoiler, kalian yang sudah menonton pasti bisa merasakan bagaimana seorang tokoh diam-diam mengambil keputusan besar untuk mengubah kepemimpinan perusahaan, tawaran yang tidak diduga dari kawan maupun lawan muncul begitu saja, hingga musibah atau kasus yang tiba-tiba terjadi.
Di dunia startup, constant chaos pun merupakan sesuatu yang biasa. Pandemi mengubah perilaku pengguna dan memaksa beberapa perusahaan merevolusi model bisnis, suku bunga bank sentral tiba-tiba naik sehingga membuat alokasi pendanaan untuk startup menjadi kering, hingga investor yang sudah berkomitmen untuk memberikan pendanaan - sampai diumumkan di media - ternyata justru batal mengucurkan uang (Yes, it’s real, and is happened in Indonesia!).
Succession bahkan menunjukkan bagaimana ketergantungan - atau bahkan pertemuan singkat - dengan konglomerat tertentu justru bisa mengubah nasib sebuah startup di kemudian hari. So, maybe expecting for chaos is a good thing.
Menjadi bahagia di tengah chaos, bisa?
Pertanyaannya, apabila kita sepakat bahwa hidup adalah constant chaos, apakah kita bisa merasa bahagia? Bukankah pemikiran seperti itu membuat kita akan merasa takut setiap saat?
Secara umum, kebahagiaan itu terjadi ketika kenyataan yang ada merupakan sesuatu yang lebih baik dari ekspektasi kita. Dan kita semua tahu, bahwa tidak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa mengatur kenyataan sesuai dengan keinginannya.
Karena itu, buat gue pribadi, satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk meraih kebahagiaan adalah menurunkan ekspektasi hingga serendah mungkin.
Satu hal yang harus kita ingat, jangan sampai menurunnya ekspektasi membuat kita jadi kurang ambisius dalam hidup, karena hidup adalah sesuatu yang indah dan sayang banget kalau kita hanya menghabiskannya tanpa mencoba banyak hal.
Saat gue mempersiapkan diri akan chaos atau hal buruk untuk terjadi, gue juga nggak “berharap” itu benar-benar kejadian. Sebagai manusia biasa, gue juga pengin hal baik menimpa gue. Tapi sayangnya, seiring berjalannya waktu, hidup itu ternyata memang terlalu random untuk kita prediksi.
Akhir kata, let’s just enjoy our life, and LET’S F**KING GOOOOOO !!
Berita penting lainnya
Startup voucer diskon Fave memutuskan untuk hengkang dari pasar Indonesia, demi fokus ke bisnis mereka di Malaysia, Singapura, dan India.
Monk’s Hill Ventures telah berhasil meraih dana investasi ketiga senilai US$200 juta, yang akan digunakan untuk pendanaan Seri A di Asia Tenggara.
Layanan e-grocery Sayurbox mengumumkan pemecatan terhadap “beberapa” karyawan di segmen business-to-consumer (B2C) yang tidak tumbuh sesuai harapan.
DigiAsia Bios, startup fintech yang didirikan oleh mantan petinggi Indosat Alexander Rusli dan Prashant Gokarn, tengah menyelesaikan proses untuk masuk bursa saham di Amerika Serikat lewat jalur SPAC, dan meraih dana segar sebesar US$200 juta.
Anda baru saja membaca Catatan Jurnalis Startup, sebuah newsletter yang mengangkat topik-topik terhangat di dunia startup Indonesia, serta kisah di belakang layar yang seringkali tidak bisa masuk ke dalam liputan media.
Newsletter ini dibuat oleh gue, Aditya Hadi - seorang jurnalis di The Jakarta Post yang sebelumnya pernah menjadi penulis di Tech in Asia -, dan akan tayang setiap minggu pada hari Senin.
Untuk berlangganan, silakan kunjungi adityahadi.substack.com